Berikut ini kami mengambil informasi, yang disarikan dari buku yang berjudul Ancient Israel, karangan Roland de Vaux, vol. 2, (First McGraw-Hill Paperback Edition, 1965), p. 488-493:
Paska, atau Passover dalam bahasa Inggris, berasal dari kata Ibrani, Pesah. Kitab Suci menghubungkan kata itu dengan akar kata psh,
yang artinya ‘timpang/ melangkahi/ melewati’ (lih. 2 Sam 4:4), 1Raj
18:21). Dalam tulah terakhir kepada bangsa Mesir, Allah melangkahi/
melewati rumah-rumah yang melakukan persyaratan Paska (Kel 12:13,23,27).
Memang ada teori lain yang menghubungkan kata pesah tersebut dengan kata Akkadian, pashahu,
artinya, mendamaikan/ menenangkan. Tetapi kalau dilihat dalam konteks
Paska Yahudi, arti ini tidak/ belum ada. Ada juga teori modern yang lain
yang menghubungkan dengan pesah dengan kata bahasa Mesir, yang
kalau diartikan adalah ‘sebuah pukulan’, sebagaimana memang bangsa
Mesir seolah dipukul oleh tulah dari Allah (lih. Kel 11:1,
12:12,13,23,27,29). Namun argumen ini tidaklah kuat, karena sulitlah
diterima bahwa bangsa Israel dapat memberikan istilah dari bahasa Mesir,
suatu kebiasaan yang menjadi tradisi bangsa mereka sendiri (Yahudi),
apalagi tradisi tersebut adalah tradisi yang menentang bangsa Mesir,
yaitu pada saat mereka memperingati bebasnya mereka dari bangsa Mesir….
Di luar asal usul kata, bagi bangsa Israel, nampaknya perayaan pesah,
awalnya dirayakan oleh para gembala, yang mengurbankan hewan muda
mereka, dengan harapan mereka agar kawanan hewan gembalaan bertumbuh
subur. Perayaan pesah ini kemudian digabungkan dengan satu
perayaan lain, yaitu perayaan Roti tidak beragi, sebuah perayaan
agrikultur/ pertanian yang baru mulai dirayakan setelah bangsa Israel
masuk ke tanah Kanaan. Perayaan ini dikaitkan dengan perhitungan minggu,
dan dilakukan selama seminggu (Kel 23:15; 34:18), dari satu Sabat ke
Sabat berikutnya (Kel 12:16, Ul 16:8; Im 23:6-8). Perayaan panen,
ditetapkan pada tujuh minggu setelah perayaan Roti tidak beragi (Im
23:15; Ul 16:9).
Kemudian kedua perayaan tersebut, Paska
dan Roti tidak beragi, yang sama-sama dirayakan di musim semi,
digabungkan menjadi satu. Perayaan Paska yang sudah ditetapkan pada
bulan purnama, tidak diubah, dan perayaan Roti tidak beragi disertakan
pada perayaan tersebut, dan untuk dirayakan selama 7 hari (lih. Im
23:5-8). Tradisi kitab-kitab Musa (Pentateukh) menghubungkan perayaan
Roti tidak beragi (Kel 23:15; 34:18; Ul 16:3) atau Paska (Ul 16:1 dan
6), atau baik Paska dan Roti tidak beragi (Kel 12:12-39), dengan
dibebaskannya bangsa Israel dari Mesir. Kedua ritus kedua perayaan
tersebut digabungkan dalam kisah Eksodus bangsa Israel.
Maka walau kedua perayaan itu sudah ada
sebelum bangsa Israel lahir sebagai bangsa, namun ada suatu saat, di
mana Tuhan meng-intervensi, yaitu saat Ia membawa bangsa Israel keluar
dari Mesir, dan ini menandai terbentuknya israel sebagai satu bangsa
sebagai bangsa pilihan Allah. Proses pembebasan ini mencapai puncaknya
saat mereka masuk ke Tanah Terjanji. Kedua perayaan tersebut, Paska dan
perayaan Roti tidak beragi, memperingati kejadian ini, sehingga inilah
yang juga dirayakan sampai kepada zaman Kristus dan para Rasul.
Menjawab pertanyaan di atas, Paska/ Pesah tidak berarti kematian, melainkan ‘melangkahi/ melewati’, dalam hal ini konteksnya adalah Allah melangkahi (rumah-rumah umat-Nya yang ditandai dengan darah kurban anak domba) untuk menghantar mereka mencapai Tanah Terjanji. Maka arti kata ‘melangkahi/ melewati’ ini selalu tidak berdiri sendiri, namun terkait dengan keadaan berikut yang dituju oleh proses melangkahi/ melewati. Dengan berpegang kepada arti ini, tak mengherankan jika kemudian Gereja menghubungkan perayaan Paska ini dengan perayaan Kebangkitan Yesus Sang Anak Domba Allah; sebab melalui kebangkitan Kristus atas kematian-lah, kita umat-Nya dapat dihantar kepada kehidupan kekal di Tanah Terjanji yang sesungguhnya yaitu Surga. Para Rasul kemudian menyebut hari kebangkitan Yesus ini, yang jatuh pada hari Minggu, sebagai Hari Tuhan.
Maka penetapan hari Minggu sebagai hari Tuhan itu sudah ditetapkan sejak Gereja perdana, dan bukan baru ditetapkan di zaman Kaisar Konstantin. Sedangkan bahwa perkataan ‘Paska’ memang mengacu kepada kebangkitan Kristus yang tak terpisahkan dari sengsara dan wafat-Nya, itu memang benar, sehingga Gereja menghubungkan misteri Paska dengan sengsara, wafat, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke Surga.
Jadi perayaan Paska sebagai hari Kebangkitan Kristus dan penyebutan hari Minggu sebagai Hari Tuhan (the Lord’s day), itu sudah dirayakan oleh Gereja sejak abad awal. Pelopor yang mempromosikan kembali perayaan Sabat dan bukan hari Minggu, adalah kedua pendiri sekte Anabaptist, yaitu Andreas Fisher dan Oswald Glait di tahun 1527, yang kemudian juga dilakukan oleh penganut Seventh- day Adventists sejak tahun 1844. Namun Gereja Katolik, dan sebagian besar gereja-gereja non-Katolik, tetap berpegang kepada apa yang telah dilaksanakan oleh Gereja selama berabad-abad sejak awal (sebagaimana dikatakan oleh St. Yustinus Martir (100-165), yang dikutip dalam Katekismus Gereja Katolik), yaitu merayakan Hari Tuhan pada hari Minggu, untuk memperingati hari kebangkitan Kristus- yaitu hari Paska, yang jatuh pada hari Minggu.
KGK 2174 Yesus telah bangkit dari
antara orang mati pada “hari pertama minggu itu” (Mat 28:1; Mrk 16:2;
Luk 24:1; Yoh 20:1). Sebagai “hari pertama”, hari kebangkitan Kristus
mengingatkan kita akan penciptaan pertama. Sebagai “hari kedelapan”
sesudah hari Sabat (Bdk. Mrk 16:1; Mat 28:1), ia menunjuk kepada ciptaan
baru yang datang dengan kebangkitan Kristus. Bagi warga Kristen, ia
telah menjadi hari segala hari, pesta segala pesta, “hari Tuhan” [he
kyriake hemera, dies dominica], “hari Minggu”.
“Pada hari Minggu kami semua berkumpul, karena itulah hari pertama, padanya Allah telah menarik zat perdana dari kegelapan dan telah menciptakan dunia, dan karena Yesus Kristus Penebus kita telah bangkit dari antara orang mati pada hari ini” (St. Yustinus, Apol. 1,67).
sumber: http://www.katolisitas.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar